Selasa, 23 Maret 2010

sastra lisan

Saat ini arus modernisasi semakin kuat, maka saat ini pula kita rasakan “mengecilnya” peranan sastar lisan di tengah kehidupan kita. Lalu di balik itu tentunya bahasa dan sastra daerah ikut menyertai. Tak berlebihan kemudian akan menghilangnya seperangkat sistem kebudayaan lokal yang dipunyai oleh sebuah “keluarga” (etnik).
Melihat gelagat itu, tampaknya sudah ada upaya pelestarian atau pun tindakan “penyelamatan” yang ditempuh oleh sebagian orang atau lembaga baik secara konservasi maupun secara inovasi.
Saat ini pula, bahkan jauh sebelumnya banyak upaya dari berbagai lembaga kebudayaan melakukan penelitian, perekaman, dan pertunjukan dalam melakukan usaha penyelamatan dan pelestarian.
Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) misalnya, sejak tahun 1993 sudah melakukan kerja pelestarian tradisi lisan dengan berbagai kegiatan antara lain perekaman suara dan gambar, seminar nasional dan internasional, festival, penerbitan jurnal, dan buku seri sastra lisan. Maka wajarlah bila bulan Juli 2007 lalu di Balai Sidang Jakarta, Asosiasi Tradisi Lisan ini telah mendapatkan penghargaan (award) dari Pemerintah Indonesia atas perannya dalam meningkatkan kepedulian masyarakat akan tradisi lisan (folklore).
Dalam konteks pelestarian sastra lisan, memang sedikit sekali yang melakukan sebuah upaya inovasi pada aspek penampilan atau pertunjukannya. Terutama inovasi yang muncul dari kalangan seniman tradisi itu sendiri. Kalau pun ada kerja inovasi terhadap tradisi lisan sebagai seni pertunjukan, maka dia muncul justru dari seniman modern atau seniman akademis.Wisran Hadi dramawan asal Sumbar itu misalnya, sebagai salah satu tokoh teater modern Indonesia, dia telah menggunakan pengucapan teater modernnya dengan aksentuasi tradisi sastra lisan Minangkabau. Sandiwara Cindua Mato salah satu karyanya sangat jelas menunjukan akar tradisi sastra lisan yang berkembang di Sumatera Barat. Sebut saja Randai menjadi seni pertunjukan yang menarik dalam kemasan Wisran Hadi.
Ketika derasnya arus modernisasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang melanda kehidupan masyarakat kita, maka perlu kita mengajukan pertanyaan kepada tradisi lisan kita seperti Jelihiman, Guritan, Ande-ande, Betadut, dan Betogou. Apakah masih menarik penyajian tradisi lisan (folklore) tersebut untuk zaman sekarang ini sebagai sebuah tontona dimana “penampakan” tidak mampu memenuhi cita rasa estetika serta hiburan bagi masyarakat saat ini?
Boleh jadi, masyarakat dengan gaya hidup modern sekarang ini, pertunjukan tradisi lisan (sastra lisan) yang berlama-lama itu tentu akan menjawab: “sudah bukan zamannya lagi”. Artinya, penuturan sastra lisan yang memakan waktu berhari-hari itu saat ini sudah tidak bisa lagi dikosumsi dan harus menghilang dari peredaran.
Itu sebabnya sebagian orang banyak yang cemas dengan lenyapnya tradisi sastra lisan. Sebagian orang sepertinya memandang sastra lisan sebagai sesuatu yang terancam seperti etnis atau masyarakat pendukungnya yang telah melahirkan dan membesarkannya. “Sayang kalau tradisi lisan yang masih bertahan hidup akan mengalami kepunahan,” kata Ahmad Bastari Suan saat mengamati sebuah pertunjukan tradisi lisan Reduy dari Prabumulih beberapa waktu lalu.
Namun, “spirit” sastra lisan tidak akan pernah mati, itu telah dibuktikan dengan membaca ulang teks tulisan di hadapan publik. Pembacaan puisi dan pembacaan cerpen selalu disimak bersama-sama, sebagaimana ketika masyarakat pendukung Guritan dan Jelihiman mendengar para penuturnya. Seperti halnya ketika ada sebagian orang menuliskan kembali teks sastra lisan kemudian dilisankan kembali, sebagaimana yang pernah ditampilkan oleh Teater Alam dalam tradisi lisan Betadut atau Anwar Beck saat membacakan teks tulis Ande-Ande di hadapan publik di sebuah hotel berbintang.

Istilah sastra lisan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu oral literature. Ada juga yang mengatakan bahwa istilah itu berasal dari bahasa Belanda oral letterkunde. Kedua pendapat ini memang benar, tetapi yang menjadi persoalan adalah bahwa istilah ini mengandung kontradiksi sebab kata "literature" maupun kata "letterkunde" yang dalam bahasa Indonesia diartikan sastra merujuk pada pengertian sastra tulis atau satra cetak ( Teeuw, 1984 :22-23). Karena pengertian seperti itulah, maka perhatian terhadap sastra lisan agak terabaikan jika dibandingkan dengan sastra tertulis
Yang dimaksud dengan sastra lisan adalah cerita yang disebarluaskan dari mulut ke telinga, tersebar secara lisan dan diwarisi secara turun temurun. Sementara Suripan (1991: 3) mengatakan bahwa sastra lisan sebenarnya adalah kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Penutur dalam sastra lisan biasa disebut dengan pendendang, juru pantun, atau pelipur lara dan lain sebagainya. Sastra yang disebarkan secara lisan sangat tergantung pada daya ingat penuturnya. Karena dalam sastra lisan teks hanya ada dalam ingatan si pencerita. Karenanya tidaklah mengherankan bila sastra lisan sering kali mengalami penyimpangan dari cerita semula. Lama-kelamaan penyimpangan ini akan menimbulkan versi-versi cerita yang hampir sama. Penyimpangan yang terjadi bukanlah disengaja melainkan karena kekilafan penuturnya. Penutur tidak memiliki hak untuk melakukan perubahan, karena penutur hanya berperan sebagai pencerita dari sebuah ragam sastra lisan.
Sebagai pencerita, penutur mempunyai peranan penting dalam memelihara dan mewarisi sastra lisan, kadang-kala sebagai kreator. Selain penutur sebenarnya ada hal lain yang menentukan eksistensi suatu karya sastra ( sastra lisan ) dapat bertahan, yaitu pendengar /penikmat (audience) . Meskipun penuturnya ada, tetapi pendengar/penikmat (audience) tidak ada maka sastra lisan tidak dapat bertahan dengan baik, bahkan mungkin punah.
Dalam masyarakat yang tradisional, sastra lisan memiliki arti yang sangat penting dan sastra lisan dalam masyarakat tradisional bersifat komunal, artinya sastra lisan itu milik bersama, sastra lisan itu bukan milik perseorangan atau individu.
Suripan (1991 : 3) menjelaskan bahwa sastra lisan setidak-tidaknya memiliki beberapa ciri, antara lain :
1.Penyebaran melalui mulut,
Penyebaran dari mulut ke mulut, maksudnya dituturkan oleh tukang dendang, penutur, dan pelipur lara dengan bahasa lisan (dari mulut ke mulut).
2.Lahir dalam masyarakat yang tradisional atau masyarakat desa. Menggambarkan ciri budaya suatu masyarakat, sebab sastra lisan merupakan warisan budaya yang menggambarkan budaya masa lampau.
3.Tidak diketahi siapa pengarangnya (anonin), karena itu menjadi milik masyarakat secara kolektif.
4.Bercorak puitis, teratur, dan berulang-ulang. Ini dimaksudkan untuk menjaga supaya sastra lisan itu tidak cepat berubah.
5.Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, bahkan lebih mementingkan aspek khayalan/ fantasi yang kurang diterima oleh masyarakat modern.
6.Terdiri dari berbagai versi. Menggunakan gaya bahasa lisan ( sehari-sehari), mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak lengkap.
Dilihat dari segi penuturnya sastra lisan dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok besar yaitu :
(1) sastra lisan berupa pertunjukan, dan
(2) sastra lisan yang diceritakan.
Jenis yang pertama umumnya sastra lisan berupa pertunjukkan , seperti Lenong ( Betawi), Ketoprak ( Jawa), Randai (Minangkabau), dan Mak Yong (Melayu), dan lain-lain. Sedangkan sastra lisan jenis kedua seperti, Bersyair (Melayu), Berpantun (Sunda), dan lain sebagainya.
Sastra lisan sering dikaitkan orang dengan budaya atau folklore ,dan bahkan ada orang yang menyebut bahwa sastra lisan itu sama dengan folklore.

daftar pustaka :
A.Teeuw, 1984 :22-23
www.google.co.id
www.kabarindonesia.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar